Iklan

Trending Today

Cinta Tulus Yang Disia Siakan Part.1

Ilustrasi

Sejak pagi udah ujan deres banget, kayaknya langit ngerti banget gimana rasanya sedihnya gue. Gue keinget kata-kata Erlangga, 'Hujan yang tiap hari turun gak pernah protes sama takdirnya'. Hari ini tepat setahun sejak cowok baik itu pergi dari dunia ini. Dia orang tulus, tapi gue sia-siain kebaikan dia cuma demi cowok brengsek.

Gue buka lagi buku harian lama yang jadi saksi bisu cerita gue sama Erlangga, terus gue mulai baca dari awal.

"Pak, boleh duduk sini ga? Bangku di kafe udah penuh banget," bilang cowok seumuran gue. Gue liat-liat kafe, beneran semua bangku udah penuh. "Boleh aja," jawab gue ramah. Cowok itu langsung duduk depan gue. "Hujan gini terus, dingin banget ya. Minum kopi enak kayaknya," katanya. Tapi gue cuekin aja dia, masih fokus sama buku harian.

"Oh iya, gue Erlangga," kenalan dia. Tiba-tiba air mata gue jatuh lagi tanpa ijin. Erlangga, dari semua nama, kenapa harus Erlangga. Gue liatin muka cowok itu tiap centinya. Nggak, dia bukan Erlangga gue. Gue liat ke jendela, hujan udah berhenti tapi masih ada gerimis. Gue putusin pulang tanpa peduli sama ucapan dia dulu. "Mau ke mana, mbak? Kan masih hujan di luar?" katanya. Gue tetep lanjut aja langkah gue.

Hari ini gue lagi nyari buku buat tugas kuliah dan nyari novel yang menarik. Tiba-tiba ketemu lagi sama cowok yang gue temuin seminggu lalu, cowok yang ngaku namanya Erlangga. Dia senyum sama gue dan gue senyum balik. "Kenapa tadi langsung pergi gitu? Apa gue ada salah apa?" tanyanya. "Nggak ada yang salah sama kamu, cuma namamu nyentil kenangan gue sama seseorang," jawab gue. "Siapa?" tanyanya. "Tunangan gue, tapi dia udah meninggal setahun lalu. Maaf ya udah ninggalin kamu," jawab gue. "Beneran? Oh iya, namaku Erlangga Pratama. Kamu panggil aja aku apa, yang kamu suka," katanya sambil nyamperin tangan. Gue balas jabatannya. "Gue Rania Maheswari, kamu panggil gue apa aja selain 'mbak'," jawab gue. Bikin dia senyum malu-malu.

Sejak itu, gue sering ketemu dan deket sama Erlangga, maksudnya Tama. Ternyata dia sekelas sama gue, cuma beda fakultas. Tama baik, ceria, cerewet, dan humoris, kayaknya mirip sama Erlangga gue. Gue sempet mikir, apa semua cowok yang namanya Erlangga punya sifat sama? Kehadiran Tama bikin gue agak lupa sama kesedihan gue karena Erlangga. Tama suka cerita tentang dirinya dan gue selalu jadi pendengar. Kayak sekarang, lagi ngobrol di taman kota. Tama cerita banyak, gue cuma denger.

"Rania, selama ini cuma aku yang cerita tentang diri aku. Kamu belum pernah cerita tentang kamu," komplain dia setelah cape cerita. "Nah, lu pengen tau apa tentang gue?" tanya gue. Tama mikir sebentar dan akhirnya bilang, "Ceritain tentang Erlangga." "Nama dia Erlangga Saputra. Dia orang baik, ceria, humoris, sama cerewet kayak lu, Tama. Dia cinta sama gue dengan tulus tapi gue sia-siain kebaikan dia," mulai gue cerita. Tama dengerin gue dengan antusias.

"Gue dan Erlangga dijodohin. Dia mau, tapi gue enggak," lanjut gue. "Dia jelek ya?" tanya Tama. "Ganteng kok, cuma gue udah punya pacar, namanya Devan," jawab gue. "Dia baik banget, rela anterin gue ke mana aja, meskipun buat ketemu Devan. Orangtua gue nggak setuju sama Devan, makanya gue minta Erlangga anter. Dia nggak pernah marah, walaupun gue kasar sama dia. Suatu pagi, gue minta dia ketemu di taman ini..."

"Langka banget lu ngajak ketemu, biasanya gue yang ajak lu ke sini, tapi lu nggak pernah dateng. Kangen ya?" goda Erlangga. Senyumnya nggak berhenti. "Gak usah deh," balas gue. "Gue ajak lu ketemu buat minta batalkan perjodohan kita, cuma itu," cerita gue. "Gue gak punya alasan buat ngelakuin itu, kamu aja yang bilang," balas Erlangga. "Gimana? Orangtua gue nggak mau dengerin gue, tolong, Erlangga, kamu yang bilang pasti mereka mau dengerin kamu," mohon gue. "Kalo gue gak mau gimana? Ayolah, Rania, ngapain susah-susah mikirin takdir. Hujan aja yang terus jatuh nggak pernah protes sama takdir," kata dia. "Gue suka sama kamu, Rania. Gue gak mau batalkan perjodohan ini," lanjutnya.

"Tapi gue nggak suka sama lu, Erlangga. Paham, gak, perasaan gue? Yang gue cinta itu Devan, bukan kamu," jawab gue. "Devan yang sering lu temuin? Dia nggak baik, Rania," sok tau Erlangga. "Nggak usah sok tau, yang jalani, yang rasain, selama ini Devan baik kok," jawab gue. "Ya udah, kalo itu bikin lu bahagia, gue batalk

an. Semoga lu nggak nyesel," ucapnya terus pergi ninggalin gue.

Malam itu juga, keluarga Erlangga dateng ke rumah gue dan ngumumin pembatalan perjodohan, alasan nya Erlangga ngerasa nggak cocok sama gue. Orangtua gue sempet marah, tapi gapapa deh asal gue bisa lepas dari belenggu ini.

Keesokan harinya, gue dateng ke Devan buat kasih kabar baik ini, tapi pas gue sampe, Devan lagi mesra-mesraan sama cewek lain. Akhirnya, terjadi pertengkaran besar antara gue dan Devan, dan gue inget banget Devan bilang, "Lu perlu tau, Rania, Erlangga adalah musuh besar gue. Pas gue tau dia cinta sama lu, gue bikin lu jadi pacar gue. Gue cuma mau liat Erlangga menderita." Hari itu juga, hubungan gue sama Devan berakhir.

Gue nangis di kamar gue ngeluarin rasa sakit ini. Tiba-tiba, gue inget Erlangga, dan gue mikir gue harus minta maaf. Gue langsung berhenti nangis, bangun, terus ke dapur. Gue bikin brownies coklat kesukaan Erlangga, gue harap dia mau maafin gue. Pas lagi asyik-asyiknya bikin brownies, tiba-tiba Gita, sahabat gue, nelpon gue, "Rania, Erlangga kecelakaan," katanya di seberang sana.

Malam itu, gue sampe di rumah sakit yang dimaksud Gita. "Lu mau apa kesini? Masih peduli sama anak gue?" tanya Tante Mira, marah. Gue cuma diam, udah bingung banget. Wajar aja Tante Mira marah, gue udah terlalu jahat. Malam semakin larut, tapi Erlangga masih belum keluar dari ruang ICU, terus gue nangis terus berdoa buat dia.

"Rania, udah malem nih, pulang yuk, tante Mira suruh gue nganterin lu," bilang Arka, sepupu Erlangga yang juga pacar Gita. "Nggak, gue bakal nunggu Erlangga keluar," tolak gue halus. "Udah malem banget, Rania, mau sampe kapan? Nanti gue kabarin lu tentang kabar Erlangga," ucap Arka. Akhirnya gue nurut dan pulang sama Arka.

Semalaman gue gelisah nunggu kabar dari Arka, tapi nggak ada kabar. Pagi-pagi banget, Gita dateng ke rumah gue dan bilang, "Rania, Arka semalem nelpon gue, katanya Erlangga gak bisa diselamatin. Hari ini Erlangga bakal dimakamkan di Cirebon, tempat kelahirannya." Gue nangis banget, Erlangga, kenapa lu harus pergi pas gue baru nyesel semua perbuatan gue? Bahkan gue belum sempet minta maaf. "Gita, anterin gue ke tempat Erlangga dimakamkan," pintaku. "Tapi tadi kan lu bilang Tante Mira kemarin marah sama lu? Kalo kita kesana, lu nggak malu sama keluarganya Erlangga?" katanya, dan dia bener. Hari itu, gue cuma bisa nangis di pelukan Gita.

0 Comments

Dapatkan Update Pilihan dan Terbaru Setiap hari dari Ratna Susanti. Temukan kami di Google News, caranya klik DI SINI

© Copyright 2024 - Dwi Ratna Susanti All Right Reserved