Iklan

Trending Today

Suami Idaman

Ilustrasi

Selama sepuluh tahun, aku telah menjalani kehidupan pernikahan bersama Arjuno, suamiku. Aku sangat bersyukur menjadi istrinya karena Mas Juno benar-benar adalah suami impian bagi seorang wanita. Suamiku mencintai dan memanjakanku dalam berbagai hal. Seperti kapal yang dikemudikan dengan ahli, Mas Juno mahir mengarungi kehidupan kita. Meskipun terkadang kita dihadapkan pada ombak yang membuat kapal oleng ke kanan dan ke kiri, namun Mas Juno tetap menjadi nahkoda yang handal, membawa kapal kita menuju pelabuhan yang kita impikan. Terkadang, kita singgah sejenak di pelabuhan-pelabuhan kecil, hanya untuk beristirahat dan menikmati keindahan alamnya.

Namun, ada satu keprihatinan yang masih mengganjal hatiku setelah sepuluh tahun berlalu, yaitu belum dikaruniai momongan. Pertanyaan apakah aku mandul sering kali muncul dalam benakku. Aku merasa kesempurnaan sebagai seorang istri akan teruji jika bisa melahirkan keturunan dari cinta suami tercinta. Berhenti Berharap

Hingga suatu saat, aku teringat kembali perjalanan hidupku sejak SMA. Teman-teman sebayaku sering mengatakan bahwa seorang gadis usia SMA ibarat bunga yang sedang mekar, memamerkan keindahan dan aroma wangi. Mereka juga menyebutku salah satu gadis tercantik di SMA. Wajahku disamakan dengan Widowati saat remaja. Apalagi jika kata-kata pujian itu datang dari teman cowok, dadaku serasa mekar mendengarnya. Sebelum berangkat sekolah, aku sering berdiri di depan cermin cukup lama, mengagumi diriku sendiri, kemudian tersenyum. Aku membenarkan bahwa apa yang dikatakan teman-temanku itu benar.

Di kelas satu, ada tiga cowok yang mencoba mendekatiku, Edy, Joni, dan Abimanyu. Dari ketiganya, hatiku tertarik pada Abimanyu, yang berasal dari SMP yang sama tetapi berbeda kelas.

“Dewi, kamu cantik. Wajahmu mirip bintang film favoritku, Widowati kala remaja,” ujar Abimanyu.
Itu merupakan kali pertama aku tertarik pada seorang cowok. Abimanyu satu kelas denganku, tinggi, potongan rambutnya cepak mirip taruna, dan memiliki sifat yang kalem serta sedikit pemalu. Dia juga pandai dalam pelajaran yang memerlukan hitungan. Seringkali aku bertanya padanya ketika menghadapi pelajaran matematika, fisika, atau kimia. Aku merasa kurang mampu memahami angka-angka dalam pelajaran tersebut. Ketika malam minggu, kami sering menghabiskan waktu bersama, entah itu hanya dengan ngobrol, bermain gitar dan bernyanyi, makan di warung bakso Pak Suryani, menonton bioskop, atau kegiatan lainnya.

“Dewi, izinkah aku memegang tangan mungilmu?”
Detak jantungku berpacu saat mendengar permintaannya. Setelah agak reda, aku memberikan tanganku yang dipegang olehnya, dan dia membalas dengan genggaman yang kuat.

“Abi, tanganmu dingin sekali.”
Dia hanya diam, tetapi genggamannya semakin kuat.
“Dewi, bagaimana kalau kita makan bakso di Pak Suryani?”

Malam itu, kami berjalan sambil bergandengan tangan, ingin menikmati bakso gepeng di warung Pak Suryani. Malam yang dingin memang paling cocok untuk menikmati bakso. Bagi kami, warung bakso Pak Suryani memiliki kenangan khusus. Dindingnya berwarna pink, dihiasi gambar hati yang kena panah, balon berwarna-warni, dan kata-kata berbau cinta. Malam minggu adalah waktu favorit banyak remaja untuk berkumpul di sana.

Hubungan kami sangat menyenangkan, membuat dunia terasa begitu indah. Mungkin itulah yang disebut sebagai cinta pertama. Saat naik kelas, aku memilih jurusan Bahasa, sementara dia memilih jurusan IPA. Namun, di akhir semester satu, dia harus pindah sekolah karena orangtuanya. Aku merasa terkejut mendengar berita tersebut.

“Dewi, aku terpaksa pindah sekolah, tapi aku harap hubungan kita tetap berlanjut.”
Aku hanya bisa mengangguk.

Pada awal perpisahan, kami masih sering berkomunikasi melalui pesan WhatsApp, tetapi seiring berjalannya waktu, komunikasi itu pun hilang begitu saja. Mungkin dia sudah bertemu dengan gadis lain yang mirip dengan Widowati.

Ketika aku memasuki kelas 3, BIMA, seorang cowok dari kelas 3 IPA, mencoba mendekatiku. Dia tampan, tinggi, dan sesuai dengan namanya. Hobi utamanya adalah olahraga, terutama bola basket. Seperti Abimanyu, BIMA sering datang ke rumahku hampir setiap malam minggu.

“Dewi, minggu depan, SMA kita akan melawan SMA Semarang, bisakah kamu menjadi pemandu sorak…?”
“Tentu.”

Aku memang salah satu anggota pemandu sorak di SMA. Ketika ada pertandingan olahraga antar sekolah, pemandu sorak selalu hadir untuk memeriahkan suasana dan memberikan semangat kepada tim yang kami dukung. Terkadang, pertandingan antar pemandu sorak juga menjadi seru dan menyenangkan. Penontonnya didominasi oleh cowok-cowok dari SMA yang sedang bertanding.

Namun, perpisahan itu tak bisa dihindari. Setelah lulus, dia melanjutkan kuliah di ibu kota untuk mengambil jurusan kedokteran.

“Bima, kenapa tidak kuliah di Semarang saja? Bukankah di Semarang ada Fakultas Kedokteran juga? Kita masih bisa bertemu setiap minggu. Aku pun akan kuliah di Semarang mengambil Fakultas Sastra Inggris.”
“Benar, Dewi. Tapi ayahku menyatakan biaya kuliah ditanggung oleh adik Ayah yang tinggal di Jakarta. Selain itu, fasilitas di sana tidak sebaik di UI.”
“Bagaimana dengan hubungan kita?”
“Tetap berlanjut. Kita bisa berkomunikasi lewat HP, bukan?”

Sejujurnya, aku tak terlalu yakin. Perkiraanku menjadi kenyataan, telepon dan pesan WA semakin jarang dan akhirnya menghilang tanpa jejak. Hubunganku dengan Bima berakhir sama seperti hubunganku dengan Abimanyu.

“Dewi, sepertinya kita sulit mempertahankan hubungan ini. Kesibukanku membuatnya tidak mungkin.” Kata Bima.

Menurut teman yang lebih dewasa, begitulah percintaan remaja. Masih mencari-cari bentuk apa yang disebut cinta? Ada yang menyebutnya sebagai cinta monyet, walaupun aku tidak tahu mengapa monyet harus terlibat.

Ketika masuk perguruan tinggi, aku memilih Fakultas Sastra Inggris karena bahasa Inggrisku cukup bagus. Sebagian besar mahasiswi di sana cantik-cantik. Banyak mahasiswa dari fakultas lain yang sering nongkrong di café Fakultas Sastra Inggris. Dari nongkrong sendiri, kemudian berlanjut nongkrong berdua dengan salah satu mahasiswi dari fakultas itu.

Saat di tingkat satu, seorang senior tingkat tiga, Alex, mendekatiku. Namun, hubungan kami tidak berlangsung lama. Menurut cerita teman-teman, Alex adalah tipe pria yang suka bermain-main dengan hati perempuan. Awalnya, aku tidak percaya, tapi suatu ketika aku melihat dia menggandeng cewek di pusat perbelanjaan.

“Mas Alex, mari kita akhiri hubungan kita di sini saja.”
“Dewi, aku mencintaimu. Apa yang salah padaku?”
“Tidak ada yang salah. Hanya saja kita tidak cocok.”

Di tingkat tiga, muncul lagi seseorang, Anton, mahasiswa Fakultas Teknik yang sebentar lagi akan mendapatkan gelar Sarjana Teknik. Setelah lulus, Anton diharuskan bekerja di Kalimantan. Melihat pengalaman dengan Abimanyu dan Bima, hubungan jarak jauh cenderung putus di tengah jalan.

“Mas Anton, pilihlah antara Dewi atau pekerjaan di Kalimantan.”
“Mas Anton memilih keduanya, Dewi dan pekerjaan di Kalimantan.”
“Tidak bisa, harus memilih salah satu. Berikan aku satu minggu waktu.”

Setelah satu minggu, Mas Anton lebih memilih bekerja di Kalimantan. Aku pun menyadari bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah.

“Dewi, maafkan Mas Anton. Kalimantan menjadi pilihan Mas Anton, bukan karena alasan lain. Mas Anton masih harus menanggung biaya sekolah adik-adiknya. Jika suatu saat Mas Anton sudah mapan, dia akan menjemput Dewi.”

Itulah kisah singkat empat lelaki yang pernah ada di hatiku. Masing-masing berpisah dengan caranya sendiri. Secara umum, jarak menjadi salah satu faktor utama dalam perpisahanku.

---

Mas Juno adalah lelaki kelima yang datang ke hatiku. Perkenalan itu terjadi secara tidak sengaja. Ketika aku sedang berbelanja di supermarket, tiba-tiba aku menyadari bahwa dompetku, yang kusimpan di dalam tas, hilang. Aku panik karena dompetku tidak hanya berisi uang, tetapi juga berbagai kartu penting. Seorang lelaki di belakangku sepertinya menyadari bahwa aku sedang mengalami kesulitan. Dia segera melangkah maju.

“Mbak, tolong dihitung,” kata lelaki itu kepada kasir.
Dia membayar tagihanku dan menyerahkan barang-barang yang sudah kubeli, sementara dia sendiri hanya membeli beberapa makanan ringan dan minuman.

“Terima kasih, Mas.”
“Mbak, kalau boleh, kita duduk sebentar di kafe untuk merenung dan mencoba mengingat di mana dompet Mbak.”

Ajakan itu kuturuti. Aku memang sedang panik. Kami duduk sejenak di kafe, dan dia membantu saya mencari-cari di mana mungkin saya meletakkan dompet saya.

“Kenalkan, saya Arjuno, biasa dipanggil Juno,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Saya Dewi Yuniati, biasa dipanggil Dewi.”

Itu adalah perkenalan pertama kami. Gengamannya sangat kuat, matanya menatap mataku. Jantungku berdegup kencang. Aku buru-buru menundukkan pandanganku karena tidak tahan menatap matanya.

“Coba Mbak Dewi ingat-ingat di mana Mbak meletakkan dompetnya?”
“Ya, sekarang saya ingat. Saya meletakkannya di meja dekat cermin. Saat itu, saya terburu-buru pergi berbelanja.”

Arjuno, sepertinya dia sudah berusia di atas 30 tahun. Sesuai dengan namanya, dia tampak gagah, romantis, dan penuh perhatian. Meski masih tergolong muda, kehidupannya sudah mapan sebagai direktur perusahaan miliknya sendiri. Dia bisa disebut sebagai seorang eksekutif muda. Penampilannya selalu keren, dari pakaian hingga jam tangan dan sepatu, semuanya bermerk. Dia memiliki rumah di kawasan prestisius, serta mobil dan motor yang mewah. Dia adalah lelaki sempurna. Jika aku memberinya nilai, pasti mendapatkan 100. Sungguh sempurna.

Hubungan kami sangat menyenangkan, hampir setiap minggu kami menghabiskan waktu untuk berlibur di berbagai tempat di sekitar Semarang. Sebagai seorang wanita yang sudah memasuki masa puncak kecantikan, aku sudah harus memikirkan perkawinan yang lebih serius. Usiaku sudah mendekati tiga puluh tahun, dan orangtuaku selalu menanyakan kapan aku akan menikah.

“Dewi, hubungan kita sudah berlangsung selama 5 bulan. Aku akan melamar kamu.”
“Apa yang membuat Mas Juno yakin akan melamarku?”
“Aku mencintaimu.”
“Mas Juno, sejak SMA, aku pernah punya 4 teman dekat, dua di SMA dan dua di perguruan tinggi. Mereka selalu bilang, ‘Dewi, aku mencintaimu.’”
“Dewi, pokoknya aku mencintaimu. Bulan depan aku akan melamar kamu.”
“Apa karena aku cantik?”
“Ya, itu salah satu alasannya.”
“Apa yang membuat Mas Juno mencintaiku?”
“Dewi, hal itu tidak perlu dipertanyakan. Cinta adalah cinta. Terkadang kita tidak bisa menjelaskannya.”
“Mas Juno, apakah kamu akan mengizinkan jika Dewi memilih menjadi wanita karier daripada menjadi ibu rumah tangga?”
“Ya, nggak apa-apa.”
“Mas Juno, Dewi tidak bisa masak.”
“Ya, nggak apa-apa. Nanti kita beli makanan siap saji.”
“Mas Juno, Dewi malas jika harus merapikan rumah.”
“Ya, nggak apa-apa. Pembersihan rumah bisa ditangani oleh pembantu. Kamu hanya perlu menyuruhnya.”
Intinya, setiap kali aku bertanya tentang ketidakmampuanku dalam mengurus rumah tangga, jawabannya selalu enteng. Mungkin Mas Juno sudah terbiasa mengelola pegawai.

Ketika aku memberitahu orangtuaku bahwa Mas Juno akan melamarku, mereka sangat gembira.

“Dewi, semakin cepat semakin baik. Bapak dan Ibu dapat segera memiliki cucu. Engkau adalah satu-satunya keturunan Bapak, dan kita tidak boleh membiarkan garis keturunan kita putus. Bapak berharap dapat merangkul cucu yang banyak dari dirimu.”

Perkawinan itu akhirnya terjadi, dan Mas Juno benar-benar memanjakanku. Bulan madu kami tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Kami mengunjungi Jepang dengan keindahan Gunung Fuji dan bunga Sakura, Perancis dengan Menara Eiffel dan Museum Louvre yang terletak di tepi Sungai Seine, serta Amerika Serikat dengan Patung Liberty di Manhattan dan Grand Canyon. Itu hanya beberapa tempat wisata yang kami kunjungi selama bulan madu di luar negeri. Selain itu, kami juga menjelajahi tempat-tempat indah di dalam negeri dan luar negeri yang lebih banyak lagi.

Namun, selama 10 tahun perjalanan pernikahan kami, Mas Juno tidak pernah menanyakan mengapa aku belum hamil. Aku yang sering mencoba memancing tanggapannya.

“Mas Juno, kenapa ya Dewi belum hamil?”
“Ya... mungkin belum saatnya saja.”
“Mas, Dewi risih kalau mendengar tetangga ngomongin bahwa Dewi belum hamil.”
“Jangan pedulikan mereka.”

Kami bahkan pernah pergi bersama ke dokter spesialis kandungan.

“Baik Ibu Dewi maupun Mas Juno dalam keadaan sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin belum waktunya saja,” kata dokter.

Teman-teman yang sudah menikah memiliki anak minimal dua, dan aku tidak bisa mengerti mengapa begitu mudah bagi mereka untuk memiliki keturunan.

---

Pikiranku masih terus terpaku pada kehamilan, dan selama 10 tahun pernikahan kami belum ada tanda-tanda kehamilan. Kesimpulan sementara yang terlintas dalam pikiranku, entah itu karena aku mandul atau Mas Juno yang tidak memiliki keturunan.

Suatu hari, ketika Mas Juno sedang dalam tugas di luar kota, aku duduk sendirian di belakang rumah menikmati sinar matahari pagi yang hangat. Tiba-tiba, aku teringat bahwa malam sebelumnya aku bermimpi tentang ruangan di kamar Mas Juno.

Aku bergegas menuju kamarnya dan menggeser tempat tidur. Di bawah ubin yang tidak terlalu rapat, aku melihat ada satu ubin yang bisa dibuka. Aku merasa curiga. Ubin tersebut bisa dibuka, dan di dalamnya terdapat tangga yang menuju ke bawah. Dengan keberanian yang aku paksa, aku turun ke bawah dengan membawa senter. Aku mencari saklar listrik dan menyalakannya. Ruangan itu tidak terlalu besar, berisi berbagai barang. Terlihat ada lima peti kecil yang diletakkan berjejer. Dengan hati-hati, aku membuka satu per satu.

Peti pertama berisi perhiasan emas, peti kedua berisi batangan emas, peti ketiga berisi uang dollar Amerika, peti keempat berisi barang-barang berharga seperti jam tangan, ikat pinggang, cincin berlian, dan gelang rantai emas yang pernah dipakainya.

Entah mengapa, ketika aku hendak membuka peti kelima, detak jantungku semakin cepat. Aku membukanya perlahan, dan ternyata hanya berisi tiga album foto. Album pertama berisi koleksi foto diriku sendiri dan bersama Mas Juno yang tertata rapi. Foto-foto diambil dalam berbagai kesempatan, mulai dari saat santai, rekreasi, makan di warung Tegal, hingga momen-momen lainnya. Aku sendiri sudah lupa akan kenangan-kenangan itu. Senyum terukir di wajahku; Mas Juno memang sangat romantis. Sungguh sebuah kebahagiaan.

Aku membuka album kedua dengan hati-hati. Detak jantungku berdegup kencang, dan mataku mulai terasa berkunang-kunang. Dalam gambar, tampak jelas Mas Juno menggendong seorang anak kecil, sementara wanita cantik berada di sebelahnya, menggandeng tangannya. Dengan tangan gemetar, aku meraih album ketiga. Detak jantungku semakin mempercepat, dan penglihatanku semakin kabur. Terlihat seorang anak perempuan kecil, berdiri di tengah, digandeng oleh Mas Juno di sebelah kanan, sedangkan wanita cantik yang tak kalah menawan dengan yang pertama berada di sebelah kiri. Mereka tertawa, menunjukkan kebahagiaan mereka.

Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa. Aku pingsan.

0 Comments

Dapatkan Update Pilihan dan Terbaru Setiap hari dari Ratna Susanti. Temukan kami di Google News, caranya klik DI SINI

© Copyright 2024 - Dwi Ratna Susanti All Right Reserved