Iklan

Trending Today

Mengenalmu

Ilustrasi

Alisha, aku bisa merasakan betapa sulitnya situasi yang kau hadapi. Terlebih lagi, konflik di antara orangtuamu. Terkadang, meskipun hidup di tengah-tengah kemewahan, kebahagiaan dan perhatian tetap menjadi hal yang paling berharga. 

Sepertinya saat kau melihat anak kecil membaca Al-Qur'an, ada momen yang membuatmu terdiam. Agak aneh, tapi ada kekuatan luar biasa dalam ketenangan yang bisa kita temukan melalui keagamaan atau spiritualitas. Mungkin, membuka hatimu untuk hal-hal seperti itu bisa membantumu menemukan kedamaian dalam kekacauan.

Kamu tak sendiri, Alisha. Terkadang, seseorang yang tak kau kenal bisa membawa cahaya baru ke dalam hidupmu. Siapa tahu, buku itu bisa menjadi teman dan penuntunmu dalam menemukan jalan keluar dari kegelapan yang kau alami sekarang.

Cerita hidupmu mengajarkan kita tentang kekuatan dalam kelemahan dan bagaimana kita dapat menemukan cahaya di tengah kegelapan. Kau lebih kuat daripada yang kau kira. Ikatan Cinta Yang Suci

Bagaimana anak itu bisa dengan sukarela memberikan barangnya kepada seseorang yang belum dikenalnya, pikirku sambil melangkah di jalan. Orang-orang di sekitar tampak heran melihatku, mungkin karena penampilanku yang lusuh, mata sembab, dan pakaian hitam yang agak terbuka. Aku melintasi berbagai jalanan, memperhatikan beberapa rumah di mana penghuninya berpakaian serupa dengan anak tadi. Rasanya seolah aku tidak pernah benar-benar memperhatikan dunia sekitarku atau mungkin dunia telah berubah sejak hidupku hancur. Beberapa ibu-ibu melihatku dan tersenyum, tapi aku merasa malu mendapat senyuman indah seperti itu. Aku memilih menunduk, mengenakan topi hoodie untuk menutupi wajahku, dan melanjutkan langkah.

Aku melihat sebuah bangunan besar dengan kubah indah di atasnya. Orang-orang masuk, melepas sandal mereka, ada yang langsung pergi ke kamar mandi dan kembali dengan wajah berseri, ada juga yang duduk tanpa perlu ke kamar mandi. Aku melihat orang-orang di sana berpakaian seperti anak tadi dan membaca buku. Kemudian, aku mendengar suara yang menggema dari bangunan itu, menarik perhatian banyak orang. Anehnya, baru kali ini setelah setahun di Indonesia aku mendengarnya. Aku memutuskan untuk masuk.

Di dalam bangunan itu, orang-orang berdiri, dan suara itu muncul lagi, mengajak mereka untuk bergerak dan membaca ayat-ayat yang telah dibacakan oleh anak tadi. Aku penasaran, apakah ini cara umat beragama beribadah? Apakah ini beribadah? Aku merasa malu, kemudian keluar setelah mereka selesai beribadah. Rasa bingung dan malu masih terasa, aku menabrak seorang lelaki yang tampaknya beberapa tahun lebih tua dariku. "Maaf," kataku, kemudian lari menjauh dari situ. Perasaanku kacau, malu pada diriku sendiri yang tak pernah beribadah seperti mereka atau tidak diajarkan oleh daddy dan mommy.

Aku seorang ateis. Daddy dan mommy tidak pernah memberitahuku tentang agama atau kepercayaan. Mungkin itulah sebabnya mereka begitu dengan mudahnya meninggalkanku sendiri. Aku berjalan pulang, dan melihat mobil daddy di sana. Daddy turun bersama seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita itu berpakaian seperti orang-orang di tempat tadi, dan di belakangnya ada seorang pemuda berpakaian serupa. Aku mendekati daddy, menatapnya dengan mata sendu. Daddy memelukku. "Alisha, daddy merindukanmu. Maafkan daddy nak. Maafkan daddy," katanya sambil menangis. "Sudah terlambat, dad, sudah terlambat," jawabku sambil ikut menangis dalam pelukannya.

Aku melihat wanita dan pemuda itu, mereka tersenyum padaku. "Ini teman daddy, dia membantu daddy selama perusahaan daddy bangkrut. Dan ini anaknya, Adam. Ayo berkenalan!" Daddy memperkenalkan mereka padaku. Aku merespon dengan sedikit ketidakpedean dan mengulurkan tangan. Tapi Adam menolak, dia malah menempelkan kedua telapak tangannya seolah memohon. "Maaf, saya Adam Syahputra, anak bunda Lili, teman daddy," katanya dengan enggan menatapku. Ada sesuatu yang aneh tentang sikapnya. Wanita itu menatapku dan memberikan tangannya untuk berjabat tangan. "Saya Lili, teman daddy dan mommymu. Alisha, boleh memanggil saya bunda Lili, seperti memanggil Adam." Aku tersenyum tipis dan menjawab sambil menatapnya sekilas.

Daddy mempersilahkan mereka masuk. Aku merasa aneh dan penuh pertanyaan. Daddy meninggalkanku sendiri di kamar setelah memelukku. "Sayang, daddy punya urusan sebentar. Daddy belum bisa bercerita padamu mengenai perceraian daddy dan mommy. Kamu tidak apa-apa, kan, sayang?" Daddy bertanya sambil menunggu jawabanku sembari mengelus rambutku. Aku mengangguk tanpa kata-kata, pandanganku menunduk, dan kemudian aku memeluk erat tubuh daddy. Daddy mencium puncak keningku dan membalas pelukanku erat, dan kurasakan daddy menangis. "Kenapa daddy menangis? Pergilah, dad, aku akan menjaga diriku sendiri meski tanpa bantuan orang lain." Ucapku. "Daddy tidak akan meninggalkanmu sendiri. Daddy tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, lisha. Daddy sudah menghancurkan masa mudamu dan membiarkanmu kesepian tanpa daddy. Maafkan daddy yang tidak peduli padamu." Daddy memelukku semakin erat sambil berbicara. "Pergilah, dad, selesaikan urusanmu terlebih dahulu dan biarkan Alisha sendiri." Ucapku meyakinkan daddy. Daddy meninggalkanku sendiri di kamar setelah melepas pelukannya dan menutup pintu dengan pandangan yang sendu sebelum akhirnya menghilang.

Aku terbangun dari tidur dan membuka pintu kamar. Suasana rumah terasa agak berbeda. Aku menuju dapur dan melihat bunda Lili membersihkan meja. Aku melihat Adam di kebun, sedangkan aku duduk dan mulai menyusun pertanyaan dalam benakku. Mengapa semuanya bisa berubah begitu cepat? Aku bahkan belum bisa melupakan kesedihan kemarin, tapi sekarang, kehidupan baru sudah datang ke rumahku.

Tiba-tiba daddy datang dan masuk ke dalam kamarku, duduk di samping ranjang. "Sayang, maafkan daddy ya. Daddy harus pergi sebentar, ada tugas kantor yang harus daddy selesaikan. Daddy belum bisa bercerita padamu sekarang, kenapa daddy

 dan mommy berpisah. Untuk itu, daddy serahkan kamu bersama tante Lili dan anaknya Adam. Kamu tidak apa-apa kan sayang? Daddy bertanya padaku dan menunggu jawaban persetujuanku sembari mengelus lembut rambutku. Aku mengangguk tanpa kata dengan pandangan yang terus menunduk kebawah dan kemudian memeluk erat tubuh daddy. Daddy mencium puncak keningku dan membalas pelukanku dengan erat, dan kurasakan daddy tengah menangis saat memelukku, kudongakkan kepalaku melihat raut wajah daddy yang sedih dan meneteskan buliran bening di pipinya.

"Kenapa daddy menangis? Pergilah, dad, aku akan menjaga diriku meski tanpa bantuan orang lain." Ucapku tak tahan melihat daddy menangis seperti ini. "Daddy tidak akan meninggalkanmu sendiri, daddy tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, lisha. Daddy sudah menghancurkan masa mudamu, membiarkanmu kesepian tanpa daddy. Maafkan daddy yang tidak memperhatikanmu." Daddy memelukku semakin erat di sela ucapannya sembari terus mengelus lembut rambutku. "Pergilah, dad, selesaikan urusanmu terlebih dulu dan biarkan Alisha sendiri." Ucapku meyakinkan daddy kala itu. Daddy meninggalkanku sendiri di kamar setelah melepas pelukan eratnya, menutup pintu sembari melihatku dengan tatapan sendu sebelum akhirnya menghilang dari pandanganku.

Aku terbangun dari tidurku dan membuka pintu kamar, berjalan keluar melihat suasana rumah yang sedikit berbeda. Aku berjalan menuju dapur, kulihat bunda Lili sedang membersihkan meja dapur. Aku menoleh ke arah jendela besar di dapur, kulihat Adam sedang berada di kebun menyiram tanaman. Menyadari akan kehadiranku, bunda Lili langsung menyambutku dengan senyuman. "Selamat pagi Alisha," aku terkejut dengan semua perubahan ini, kenapa bisa begitu cepat. Aku bahkan masih belum bisa menghapus kenangan pahit kemarin, tapi sekarang kehidupan baru datang di dalam rumahku. "Pagi bunda Lili, Apakah kau yang menyiapkan semua ini?" tanyaku. "Ya. Alisha mau sarapan pakai apa? nasi goreng atau roti? atau kamu mau membawa bekal?" tanyanya yang membuatku ingin menangis, bahkan mommy tidak pernah melakukan ini untukku. Tak kusangka air mataku menetes membasahi pipi, kuseka air mata itu kala bunda Lili menghampiriku lalu memelukku. "Kenapa menangis? jangan ingat yang sudah usai. Alisha anak pandai, kamu harus rajin bersekolah dan belajar agar bisa hidup bahagia. Ayo sarapan!, bunda tidak ingin melihatmu menangis lagi. Setelah sarapan, Adam akan mengantarmu ke sekolah." Aku menatapnya sendu lalu menunduk karena aku malu akan diriku yang tak pernah bisa bergaul dengan orang lain sejak daddy dan mommy sering bertengkar. "Tidak usah bunda, aku bisa berangkat sendiri." "Tak perlu sungkan Alisha, daddy mu menitipkanmu pada bunda, dan itu amanah bagi bunda jadi harus dijalankan dengan baik agar mendapat ridho Allah, lagian Adam juga mau mengajar di pesantren yang tak jauh dari sekolahmu kok." jawabnya dengan jelas. Aku mengangguk malu dan melanjutkan sarapan.

Selesai sarapan, aku diantar ke sekolah oleh Adam. Aku turun dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Adam, dan dia pun pergi meninggalkanku. Aku teringat perkataan bunda Lili. "Ridho Allah?, siapa si itu Ridho dan Allah? kenapa bunda Lili menyebut itu?. Aku penasaran sekali." ucapku sambil berjalan menuju kelas.

Di koridor kelas, kulihat ada seorang siswi yang sedang di-bully. Aku mendekat, memperhatikan siswi itu. Aku menatap mereka yang membullynya. Mereka pergi setelah menyadari bahwa aku yang melerai. Siswi itu menangis. "Kau tidak apa-apa?" untuk pertama kalinya aku mengajak orang lain berbicara di sini dan peduli pada orang lain. Sejak aku melihat orang-orang di tempat ibadah tadi, ada perubahan di hati dan jiwaku. Aku seperti terbawa arus ketenangan di sana. "Aku tidak apa-apa, terima kasih ya, Alisha Paulin," ucap siswi itu, mengagetkanku dari lamunan. Bagaimana dia tahu namaku? Aku menatap seragam sekolahku, dan ada namaku di sudut kiri atas simbol OSIS. "Sama-sama, siapa namamu? Dan kenapa seragammu berbeda? Kau anak baru?" ucapku dengan banyak pertanyaan. "Namaku Aisyah Suci, aku anak baru di sini. Aku dapat beasiswa untuk bersekolah di sini. Ini hari kedua aku di sekolah, dan mereka terus meledekku karena belum mampu membeli seragam sekolah dan perlakukanku tidak sopan karena aku siswa beasiswa." Dia menangis lagi, dan entah mengapa hatiku terasa sedih melihatnya menangis seperti itu.

Aku membantunya bangkit dari duduknya dan membawanya ke ruang UKS. "Dimana rumahmu? Apa pekerjaan orangtuamu sehingga kau tak mampu membeli seragam sekolah?" tanyaku penasaran. Sesaat kemudian, kami sampai di ruang UKS, dan dia duduk di kasur. Aku membantunya melepas sepatunya, dia tampak lemas. Apakah dia belum makan? Apakah mereka membullynya dengan kekerasan? Aku bingung mengapa aku begitu peduli padanya. Dia masih belum menjawab pertanyaanku.

Setelah kuselesaikan membuka sepatunya, dia mulai menceritakan pada saya. "Orangtuaku meninggal dunia akibat kecelakaan. Beruntungnya, pelaku bertanggung jawab. Namun, takdir berkata lain. Ayah dan ibu saya telah meninggalkan dunia ini, meninggalkan saya sendirian di sini. Awalnya, saya tidak tahu harus bagaimana menghadapi hidup, tetapi Allah memberi saya kekuatan. Saya yakin bahwa semua ujian ini memiliki hikmahnya. Akhirnya, saya mendapatkan beasiswa di sekolah ini, dan pelaku kecelakaan juga masih bertanggung jawab. Terkadang, dia datang memberi makanan dan uang agar saya bisa hidup dan bersekolah seperti anak pada umumnya. Saya pasrah dan terus berusaha menghadapi takdir ini," jawabnya sambil menatap langit-langit UKS.

"Bolehkah saya membantu mengurangi beban Anda sedikit?" Entah mengapa, keinginan baik itu muncul dalam pikiran saya. Meskipun saya masih memiliki orangtua dan hidup dalam kecukupan, saya belum pernah merasakan kesejahteraan seperti dia. "Tidak perlu, Alisha. Saya bisa mengatasi sendiri," jawabnya penuh keyakinan, matanya menatap saya dengan keyakinan bahwa dia bisa menghadapi semuanya sendiri. "Tidak apa-apa, Aisyah. Saya akan membelikan seragam sekolahmu. Nanti setelah sekolah, kita bisa pergi ke toko baju," dia hanya tersenyum dan mengangguk, menyetujui niat baik saya. "Bolehkah saya menjadi teman dekat Anda? Sejak kemarin, tidak ada satu pun orang yang ingin berteman dengan saya," katanya seperti memelas. Sementara itu, saya juga tidak memiliki teman di sini, lalu saya mengangguk dan tersenyum padanya. Rasanya hati saya ingin menjerit bahagia, saya baru saja memulai hidup yang baru.

Bel pulang berbunyi. Ternyata, saya dan Aisyah satu kelas. Kami sering mengobrol dan berbagi kisah, tetapi saya tidak membagikan kisah kelam saya. Saya tidak ingin melihat Aisyah merasa sedih dengan hidup saya. Kami keluar dari pintu gerbang dan hendak menuju toko baju untuk membeli seragam sekolah Aisyah. Namun, ada seseorang yang menunggu di seberang sana. Saya kenal dia, Adam menjemput saya pada waktu yang tepat. Saya menarik tangan Aisyah, menuju Adam. "Kak Adam, tolong temani Alisha ke toko baju dulu ya!" ucap saya meminta dengan kata-kata yang lebih sopan memanggil Adam dengan sebutan kakak. Adam tersenyum kecil, lalu melirik ke arah Aisyah. Adam menunjuk Aisyah dengan ibu jarinya dan menunjukkan raut wajah penuh tanya. Saya langsung tersadar dan memegang tangan Aisyah, "Dia teman saya, kak. Dia ikut dengan kita ya." ucap saya sedikit memelas. Adam mengangguk dan membukakan pintu untuk kami berdua.

Sesampainya di toko baju, saya dan Aisyah masuk untuk memilih baju seragam yang sesuai dengan ukuran tubuh Aisyah. Disana banyak sekali seragam sekolah, saya memilihkan baju untuk Aisyah. Seragam lengan pendek dengan rok di bawah lutut itu saya berikan pada Aisyah. Namun, Aisyah hanya melihat seragam itu dengan tatapan tidak suka. Saya bahkan lupa bahwa Aisyah tidak memakai seragam seperti itu. Lalu, saya mempersilahkan Aisyah memilih seragamnya sendiri, dia tersenyum dengan bahagia. Terlihat raut wajahnya yang senang mendapat seragam baru yang dia inginkan. Aisyah kemudian mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya, dia memberikannya pada saya. Sontak, saya terkejut karena buku yang diberikannya persis seperti buku yang dibaca oleh anak itu. Saya tersenyum simpul padanya.

Saya duduk di teras rumah, memegang sebuah buku yang diberikan oleh Aisyah. Awalnya, saya heran. Bahkan, melihat tulisan di sampulnya saja saya sudah bingung. "Bagaimana saya bisa membaca dan mempelajarinya?" pikir saya saat itu. Namun, karena rasa penasaran ini terus menghantuiku, saya membuka buku itu. Ada tulisan berbahasa Indonesia di dalamnya. Saya melihat dan membaca setiap halaman, betapa indahnya cerita di dalam buku ini.

Saya terkejut karena sosok pria yang yakin itu pasti kakak Adam hadir di samping saya. Saya menoleh ke arahnya, namun dia memalingkan pandangannya dari saya dan menatap ke indahnya bintang malam. Saya kembali membuka buku itu dan membacanya. Kakak Adam duduk di samping saya dengan jarak yang sedikit jauh. Saya tahu bahwa dia sedang memperhatikan saya. Saya membiarkan kakak Adam terus memperhatikan saya. "Untuk apa kau membaca itu, Lisha?" tanya kakak Adam, membuat saya tersentak. "Hmm... Saya penasaran, mengapa setelah mendengar orang-orang membaca buku ini, hati saya menjadi lebih tenang dan pikiran saya menjadi lebih rileks, Kak. Saya bukan umat beragama," ucap saya disertai dengan pertanyaan. "Teruslah membacanya, sampai kau menemukan petunjuk yang bisa merubahmu seperti daddymu," ucapnya didampingi senyuman kecil di bibirnya, lalu pergi meninggalkan saya yang penuh tanya.

Dengan perasaan penasaran dan heran, aku memasuki kamar. "Mengapa Kak Adam berbicara seperti daddy? Apakah daddy melakukan sesuatu? Apakah daddy juga membaca buku ini? Apakah daddy memiliki rasa penasaran yang sama sepertiku?" Fikiranku dipenuhi pertanyaan. Sehari penuh bersekolah dan berbelanja bersama Aisyah membuatku lelah. Aku meletakkan tubuhku di kasur dan terlelap sambil memeluk buku itu.

Beberapa saat kemudian, aku merasakan seseorang menyelimutiku dan mencium lembut puncak keningku. "Selamat tidur, Alisha," katanya. Seorang wanita yang saya kenal, yaitu Bunda Lili. Dia menyelimutiku dan memberi kecupan lembut, sangat perhatian padaku. Tetes air mata mengalir di pipiku. Aku pun tertidur dalam tangisan haru.

Aku menyambut pagi dengan gembira, bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku mendekati lemari pakaian, mengambil seragam sekolah, dan mengenakannya dengan rapi. Aku bergegas menuju meja makan untuk sarapan. Namun, semua orang di sana terlihat tertunduk lesu, dan air mata mengalir di pipi Bunda Lili. Aku mendekati mereka dengan raut wajah bingung. "Ada apa, Bunda? Mengapa Bunda menangis?" tanyaku pada Bunda yang terus menangis dan tertunduk. Kak Adam pergi, dan aku berlari mendekatinya, berharap dia bisa menjawab pertanyaanku. "Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kalian begitu sedih?" tanyaku lagi, namun dia tetap diam. Aku bingung, ada apa ini? Mengapa setiap hari rasanya aneh? Sesaat yang lalu aku bahagia, sekarang aku harus merasakan sedih lagi. Pikiran itu bergolak dalam otakku, dan tanpa kusadari air mata mengalir di pipiku.

Bunda Lili bangkit dari duduknya, mendekatiku yang berdiri, menangis meratapi hidupku. "Daddy mengalami kecelakaan, Alisha," ucap Bunda Lili membuatku hampir lemas. "Dia sudah bersama yang maha kuasa, dia pergi meninggalkan kita. Sebentar lagi, jenazahnya akan dibawa ke rumah ini," sambung Bunda Lili sambil memelukku erat, dan aku menangis dalam pelukannya. Hatiku seakan tidak percaya. "Mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku yang harus mengalami ini? Baru saja aku merasakan kebahagiaan, mengapa sekarang seperti ini? Mengapa, Bunda, mengapa?" teriakku dalam pelukan erat Bunda.

Beberapa saat kemudian, mobil ambulans datang, dan aku melihat Aisyah dan mommy keluar dari sana. Tangisanku semakin pecah ketika kutatap sosok yang selama ini kuketahui, yang kemarin pamit untuk bekerja, kini telah meninggalkanku selamanya. Aku mendekati sosok itu saat dia dibaringkan di sebuah kasur kecil yang disiapkan Bunda Lili. Aku memeluknya, mencium pipinya, dan menangis tanpa henti. Aisyah datang mendekat dan memelukku. Kulihat mommy dengan pakaian yang berbeda duduk di sampingku, menangis, dan memelukku juga. Aku hanyut dalam kesedihan pagi ini. Para tetangga dan kerabat juga ikut hadir di sini, aku tidak terlalu memperhatikan mereka, aku sudah tenggelam dalam kesedihan.

Aku menangis tanpa henti, Bunda Lili, Aisyah, dan mommy mencoba menenangkan. Kulihat jenazah dibawa oleh beberapa orang lelaki, bermaksud untuk dimandikan. Setelah itu, jenazah daddy ditutup kain putih, aku merasa heran dan bingung. Lalu, Aisyah, mommy, dan Bunda Lili pergi meninggalkanku sendirian. Mereka mengenakan pakaian seperti yang dipakai orang di bangunan besar itu. Lantunan suara terdengar dipimpin oleh Kak Adam, aku menatap semuanya. Apakah daddy sudah beragama? Mengapa mereka tidak mengajarkan padaku? Pertanyaan itu muncul dalam benakku. Aku hanya duduk diiringi kerabat daddy yang tidak ikut beribadah.

Mereka telah menyelesaikan ritual ibadah, dan jenazah daddy diangkat, kemudian ditempatkan di atas tandu dan diselimuti dengan kurungan berupa kain hijau. Aku diajak Aisyah, mommy, dan bunda Lili untuk ikut mengantarkan daddy ke pemakaman. Kakiku terasa lemah, bahkan sebenarnya aku merasa tidak sanggup melakukannya. Meskipun begitu, aku memaksa kakiku untuk bangkit dan berjalan mengikuti kak Adam dan beberapa lelaki lain yang membawa tandu daddy.

Sampai di pemakaman, jenazah daddy dimasukkan ke dalam lubang, ditutup dengan papan dan tanah, serta sebuah batu nisan dengan nama daddy tertulis di sana. Mereka semua membacakan doa untuk daddy dengan bacaan yang tidak saya pahami. Para tetangga dan kerabat sudah pergi, meninggalkan kami berempat—aku, Aisyah, mommy, bunda Lili, dan kak Adam. Aku menatap mereka satu per satu. "Mom, mengapa mommy mengenakan pakaian seperti itu? Mengapa mommy ikut beribadah tadi? Dan mengapa daddy dikuburkan dengan cara seperti ini?" ucapku penuh tanya pada mommy. Mommy hanya diam, dan bunda Lili menggenggam pergelangan tanganku, mengajakku untuk pergi dari sana.

Kembali di rumah, kami duduk di sofa panjang. Aku masih terus tertunduk, air mataku hampir habis mengalir sejak tadi. "Maafkan mommy, sayang," mommy menangis dan memelukku erat. Pelukan yang selama ini aku rindukan, kini aku dapatkan dalam keadaan seperti ini. "Mommy dan daddy sebenarnya tidak berpisah. Waktu itu, daddy dan mommy bertengkar hebat, dan daddy dengan emosinya mengucapkan kata itu. Mommy tahu pasti kamu sangat sedih, nak. Lalu daddy pergi keluar dengan kecepatan mobil yang sangat kencang, mommy takut terjadi sesuatu pada daddymu. Maka mommy membuntuti daddymu. Di perjalanan, daddy menabrak sepasang suami istri, ayah dan ibunya Aisyah. Daddy merasa sangat kacau dan bersalah waktu itu. Mommy mencoba menenangkan daddy dan mengantarkan ayah dan ibu Aisyah ke rumah sakit. Sampai akhirnya di rumah sakit, kami bertemu dengan bunda Lili dan anaknya yang juga ada di sana. Kami menceritakan semua kejadian itu, termasuk tentang pertengkaran mommy dan daddy. Bunda Lili adalah teman daddy dan mommy di Indonesia, dia adalah seorang muallaf, sama seperti daddy dan mommy saat ini. Bunda Lili yang mengajak daddy dan mommy ke jalan ini, bunda Lili yang menyadarkan kami bahwa selama ini lupa akan adanya Allah dalam hidup, lupa kalau semua yang kami dapatkan hari ini berasal dari Allah. Akhirnya, mommy dan daddy memutuskan untuk masuk agama Islam. Itulah kenapa mommy memakai pakaian seperti ini, beribadah sesuai syariat Islam, dan daddy dikuburkan dengan cara Islam," ucap mommy secara detail.

Aku menangis dan memeluk mommy. "Lalu kemana mommy dan daddy setelah itu? Mengapa daddy hanya kembali sementara ke rumah lalu pergi meninggalkanku bersama bunda Lili dan kak Adam?" tanyaku pada mommy. "Mommy dan daddy tinggal di pesantren, nak, tempat Adam mengajar. Di sana mommy dan daddy belajar agama dan mendalaminya." Aku semakin erat memeluk mommy. "Mom, aku ingin seperti kalian. Hidup beragama, boleh?" ucapku memohon pada mommy. "Tentu saja, nak. Mommy sangat senang," ucap mommy sambil mencium puncak keningku.

Aku bersyahadat pada hari ulang tahunku yang ke-18, pada hari perpisahan sekolah. Sejak daddy meninggalkan kami, aku mengajak Aisyah tinggal bersamaku dan mommy, sementara bunda Lili kembali ke rumahnya sendiri. Bunda Lili dan kak Adam juga sering singgah dan menginap di rumah.

Aku mulai mengubah penampilanku yang biasanya memakai baju terbuka dan suka mengenakan topi. Kini aku memakai hijab dan baju gamis yang dipilihkan Aisyah. Aku sangat bahagia, merasa ini adalah hidup yang selama ini aku impikan. Aku bersyukur kepada Allah karena memberikan hidayah padaku melalui masalah-masalah ini. Aku mulai belajar membaca Al-Qur'an, bergaul dengan orang-orang yang memahami agama. Saat ini, aku dan Aisyah berada di pesantren di mana daddy dan mommy ku menuntut ilmu agama.

Sudah setahun sejak kepergian Alm. daddy. Aku tidak lagi merasa kehilangan, karena aku tahu bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Aku tidak lagi merasakan kesedihan seperti dulu, karena bersyukur kepada Allah akan membuat semuanya menjadi bahagia.

Beginilah caraku mulai mengenal-Nya, membiasakan diriku untuk tetap tersenyum bahkan di kala sedih, mencoba bangun pagi dan melaksanakan sholat tepat waktu, dan istiqomah dalam menjalani hidup, selalu mengingat bahwa Allah selalu ada untukku. Aku benar-benar bersyukur, Allah menunjukkan padaku jalan kebenaran, kebahagiaan, dan ketenangan dalam jiwa dan hidupku sekarang. Terima kasih kepada Allah SWT.

0 Comments

Dapatkan Update Pilihan dan Terbaru Setiap hari dari Ratna Susanti. Temukan kami di Google News, caranya klik DI SINI

© Copyright 2024 - Dwi Ratna Susanti All Right Reserved